xxvi - He's Waiting for Her Chocolate
Participant and Pairing:
holwest – SamaRain
Kurogane_Luna – KiyoSoph
rey_asha – TauMeli
RainAlexi123 - ErnestOcha
Cuzhae – MaToru
queenofjoker_ – LuciRhe
SamaRain
By: holwest
Sinar mentari pagi muncul menyelinap dengan perlahan. Wanita berambut pirang panjang dengan gelombang diujungnya ini terbangun. Sepertinya kebiasaan bangun tepat waktu masih melekat pada dirinya. Mata yang berwarna sapphire mengerjap perlahan membiasakan cahaya yang memasuki melalui celah gorden.
"Sepertinya aku terlalu awal bangunnya." Menguap kecil, Rain bangkit dari posisi tidurnya.
Menoleh ke samping ia mendapati suaminya sedang tertidur pulas, dua pucuk dikepalanya bergerak pelan seiring deru napasnya. Senyum tipis terpasang diwajah Rain, lebih tepatnya sengiran kecil. "Hanya disaat tertidur Bakatoki terlihat polos."
Memilih membiarkannya, Rain bergerak mengambil smartphonenya pada nakas meja. Beberapa saat kemudian senyuman muncul kembali diwajahnya. "Hari ini ya?"
"»————- ♡ ————-««
Samatoki mengerjapkan matanya berulang kali karena silaunya sinar matahari masuk melalui jendela. Melirik jam didinding yang menunjukan pukul 9 pagi membuat semangatnya menurun, bisa dibilang ini kelalaiannya yang memalukan.
"Sialan, kenapa aku baru bangun?"
Mendapati kasur disebelahnya kosong tidak ada hawa hangat yang tersamarkan, Samatokipun bangun dari kasurnya. Melangkah keluar kamar, ia mendapati seluruh ruangan kosong. "Tentu saja, apa yang ku harap kan dari ini?" Samatoki mendesah.
'Mana mungkin Rain belum berangkat? Pastinya wanita itu sudah dikantor dan berkutik dengan laporan.'
Dengan langkah malas Samatoki berjalan ke dapur. Tatapannya terarah pada meja makan yang terhidangkan dua buah sandwich disertai termos minuman.
"Apa ini?"
Memegang termos minuman Samatokipun membukanya, uap panas segera keluar dari wadahnya. Aroma kopi dengan sedikit sentuhan ringan membuatnya penasaran, tanpa menunggu ia langsung duduk dan mengambil cangkir kosong yang tersedia disampingnya.
Setelah menuangkannya, Samatoki tidak langsung meminumnya tetapi menghirup aromanya. "Lumayan juga."
"»————- ♡ ————-««
"Samatoki, kenapa wajahmu terlihat kusut begitu?" Jyuto bertanya,kemudian duduk pada salah satu sofa dan menaruh beberapa cokelat pada meja, yang mana semakin membuat dahi Samatoki berkerut.
"Berisik." Decih Samatoki.
"Soukan kira ini ada hubungannya dengan cokelat." Riou menjawabnya, sedangkan ditangannya juga ada beberapa cokelat.
Mendengar ucapan Riou, Jyuto langsung menampilkan senyum liciknya. "Apa Samatoki-sama yang terkenal ini tidak mendapatkan cokelat valentine sama sekali? Mungkin aku harus memberikan bagianku padamu?"
"Aku ingat lagi," senyum Jyuto semakin melebar, "Seharusnya istrimu sudah memberikannya padamu." Jyuto memasang tampang berpikir, "Jangan-jangan kau tidak mendapatkannya ya? Mungkin saja dia melupakanmu, barang kali juga cokelat pertama itu dia berikan pada orang lain. Bagaimana ya?"
Perempatan dahi muncul pada Samatoki, langsung saja ia berteriak kesal. "Oi Teme! Jangan mengada-ada!"
"Samatoki, tenanglah." Langsung saja Riou menengahi, sedangkan Jyuto asik tertawa puas.
"»————- ♡ ————-««
Sialnyai, saat Samatoki sampai dirumah. Ia sama sekali tidak fokus, dan malah kepikiran semua ucapan Jyuto. Hari beranjak sore, tentu saja sudah jam Rain pulang.
Mendengar suara pintu terbuka, Samatoki langsung menghampirinya. Rain yang melihatnya memandang aneh.
"Aku pulang." Ucap Rain.
"Mmh, selamat datang." Angguk canggung Samatoki.
Kemudian hening, tentu saja Rain langsung bertanya. "Kenapa? Ada perlu denganku?"
Samatoki mempertimbangkan beberapa sebelum mengatakannya, "Mana cokelat valentine untukku?" telinganya merona samar.
"Aku sudah memberikannya." Jawab Rain Polos.
"Kapan?!" Samatoki terkejut, seingatnya ia tidak pernah mendapatkannya.
"Kopi yang kau minum pagi hari itu." Jelas Rain.
"Kopi dan cokelat itu berbeda!"
"Aku bercanda, tentu saja aku punya." Rain membuka tasnya dan memberikan kotak itu padanya. "Selamat Valentine, Samatoki."
"Padahal kopi itu aku pesan khusus diasapi dengan buah cacao loh, bukankah itu masih terhitung?" lanjutnya.
"Tentu saja tidak-" elak Samatoki.
__________________
KiyoSoph
By: Kurogane_Luna
Bibir mengerucut tanda sang lelaki sedikit merajuk. Si rambut hitam yang merupakan saudara dari si pemuda berambut walnut itu hanya bisa tersenyum masam melihat tingkah Kashuu. Normalnya, saat hari valentine, para perempuan lah yang menghujani para lelaki dengan coklat kreasi mereka yang dipenuhi dengan perasaan para kaum hawa.
Tapi, itu tidak berlaku pada sosok Sophie. Kerumunan laki-laki mengelilingi perempuan itu sejak pagi, dan tujuan mereka sudah jelas, memberikan berbagai macam hadiah bagi perempuan itu dengan maksud yang berbeda.
Kashuu, sang suami hanya bisa menahan wajah masam terutama lagi saat berhadapan dengan penggemarnya saat tak jauh dari Sophie yang sebenarnya agak tak enak menerima tumpukan hadiah dari para lelaki yang terpesona oleh sosoknya itu.
"Sudah 50." Yamatonokami menatap Kashuu dengan tatapan kaget lalu berubah menjadi wajah masam. 'Bisa-bisanya kau menghitung total laki-laki yang sudah memberi hadiah Valentine' si pemuda rambut hitam hanya menggelengkan kepalanya.
"Tapi daritadi aku belum melihat Sophie memberikan coklat pada siapapun." Kalimat yang diucapkan oleh Yamatonokami membuat Kashuu langsung menoleh ke arah saudaranya lalu dan ke arah Sophie. Ada sedikit rasa bangga di hati laki-laki itu kala mendengar ucapan Yamatonokami, jelas saja coklat buatan si perempuan berambut panjang itu hanya untuk dirinya seorang, karna dia adalah kesayangannya Sophie.
"»————- ♡ ————-««
Itulah yang dipikirkan oleh Kashuu beberapa jam yang lalu, hingga kini di tangannya belum ada coklat yang diharapkannya. Tentu si pemuda merajuk akan fakta ini, dan tentu dia menempeli sang istri umtuk menunjukkan fakta bahawa laki-laki berambut coklat itu tengah ngambek pada dirinya.
Sophie hanya tertawa pelan ketika Kashuu seketika memeluk dirinya dengan bibir mengerucut. Si perempuan tahu kalau Kashuu tengah menunggu coklat dari dirinya melalu Yamatonokami yang mendatangi Sophie sambil menepuk jidat sambil menghela napas lelah.
"Kashuu."
Netra merah Kashuu menatap sang perempuan yang menyodorkan sekotak coklat yang dibungkus dengan berwarna layaknya kedua bola mata si lelaki. "Untukku?" Sophie mengganguk dengan senyum tipis, dan senyumannya itu semakin lebar saat melihat senyum Kashuu.
Sophie memeluk sang suami dengan lembut, lalu mengecup pelan pipi Kashu. "Kau selalu jadi kesayanganku kok." Kini wajah Kashuu sudah merah pakaiannya.
__________________
TauMeli
By: rey_asha
Saat udara mulai menghangat dan bebungaan mulai menyembul malu-malu, saat jaket tebal mulai ditanggalkan, saat merah muda mulai menguasai jalanan dengan banyak pasangan yang saling bergandengan tangan, saat itulah pertanda bahwa musim semi hampir tiba. Selain kedatangan musim semi, ada satu hal lagi yang dinantikan oleh banyak orang di bulan Februari.
Hari dimana banyak pria maupun wanita yang harap-harap cemas. Berharap sang pemilik hati akan menerima cokelat mereka atau menunggu si terkasih untuk menyatakan perasaan mereka. Taufan bukanlah salah satu dari mereka.
Alih-alih menunggu wanita yang menguasai hatinya menyatakan perasaan dengan cokelat—yang saat ini mengalami diskon besar-besaran, Taufan memutuskan untuk melakukan hal sebaliknya. Meski tidak dapat dipungkiri bahwa ada bagian dirinya yang berkeinginan agar sang hawa turut serta tradisi di bulan Februari, tapi Taufan mawas diri. Gadisnya bukanlah perempuan yang senang mengutarakan rasa dengan gamblang.
"Apa yang kaulakukan sepagi ini?"
Taufan menahan diri untuk tidak mendengkut kala sosok Meli keluar kamar dengan raut setengah mengantuk. Jika ia boleh menjadikan satu kata sebagai hak miliknya, maka kata 'menggemaskan' akan ia pilih untuk menggambarkan sosok sang istri.
"Selamat pagi juga untukmu, Meli," Taufan mengelus gemas pipi sang wanita. "Tidurmu nyenyak?"
Meli mengangguk. "Kau belum menjawab pertanyaanku."
"Memanggang kue untukmu," sahut Taufan seraya meletakkan sepiring kue cokelat di atas meja makan. "Kalau di luar sepertinya terlalu ramai. Lebih nyaman di rumah, kan?"
Sengatan puas menjalar dalam diri Taufan tatkala sudut bibir Meli tertarik samar, mengamati istrinya mengambil satu kue lalu berdehem sebagai tanda bahwa Meli menyukai kuenya. Tidak masalah meski samar, bagi Taufan senyum Meli membuat harinya ratusan kali lebih baik.
"Mau teh apa?" Taufan bertanya setelah meninggalkan ciuman singkat pada puncak kepala Meli, terkekeh kala wanita itu merona merah.
"Apa saja," sahut Meli acuh tak acuh.
Taufan terkekeh geli. Kelihatannya memang cuek, tapi ia tahu bahwa Meli tengah menahan debaran jantungnya yang menggila lantaran tak terbiasa diperlakukan penuh kasih sayang.
'Manis sekali' batin Taufan dalam hati. Ia menyeduh teh ke dalam dua cangkir yang berbeda dalam diam.
Netra safirnya tidak berpaling dari rupa sang wanita. Kerap kali menyunggingkan senyum kecil kala iris kecokelatan balas menatapnya. Atensinya tertuang penuh pada sosok di hadapannya saat Meli menurunkan cangkir setelah menyesap tehnya.
"Aku tidak menyiapkan cokelat untukmu," aku Meli lemah.
Taufan menggeleng kecil. "Tidak masalah. Aku mengenalmu dengan baik."
"Seharusnya kan aku yang memberimu cokelat. Kenapa malah dirimu yang memanggang kue untukku?" ujung jemari Meli menyusuri bibir cangkir, tersipu dengan perhatian juga gestur ringan nan manis dari sang suami.
"Kenapa tidak?" Taufan mengendikkan bahu. "Kalau harus memberi alasan, aku menyayangimu karena itulah aku melakukannya."
__________________
ErnestOcha
By: RainAlexi123
Rhodes Island menerima segala pasien dan operator dari seluruh Terra, jadi bukan hal yang mengejutkan jika mereka mengadakan banyak perayaan yang biasanya diadakan, dari mana pun itu.
Salah satunya adalah Valentine.
"Loh, Rafaela?"
"Ah Kakak ...."
Bukannya disambut oleh Ocha yang terlelap di antara tumpukan pekerjaannya, Ernesto justru disambut oleh adik angkatnya sendiri, Rafaela. Perempuan dengan codename La Pluma itu tampak sedang duduk di sofa yang ada di depan meja kerja sang dokter.
"Kau datang mencari Dokter?" tanya Ernesto melihat sekitar ruangan.
"Hm, awalnya begitu," jawab Rafaela, "tapi saat aku kemari, Dokter Ocha sudah bersiap untuk pergi bersama Dokter Tamaki."
'Itu menjelaskan kenapa beliau tidak ada di ruangan sekarang,' pikir Ernesto berhenti mencari keberadaan sang perempuan, 'tapi aku tidak ingat hari ini beliau ada pertemuan atau pergi keluar ruang kerja? Apa Dokter Tamaki ada perlu dengan Dokter Ocha?'
Setelah berpikir demikian, laki-laki dengan codename Tequila itu mengangguk kecil kemudian menghadap sang adik.
"Kalau begitu kau ada perlu denganku?" tanya Ernesto—mengetahui sifat Rafaela, sang adik sudah pasti akan bersantai di atap Rhodes Island jika tidak sedang menemani Ocha.
"Uhm," Rafaela mengangguk singkat, "Dokter Ocha bilang Kakak tidak perlu mencarinya, jika urusan Dokter sudah selesai dia akan langsung kembali."
"Jadi Dokter pergi karena ada urusan," sahut Ernesto merapikan berkas-berkas yang ada di meja kerja Ocha, "apa dia memberitahumu, Rafaela?"
Rafaela berkedip beberapa kali, kemudian memiringkan kepalanya.
"Loh, Kakak tidak tahu? Hari ini Valentine loh. Walaupun Dokter tidak bilang apa-apa padaku."
Mendengar itu membuat gerakan Ernesto berhenti mendadak.
"Eh?"
"»————- ♡ ————-««
Hari berlalu dengan cepat, dan tidak terasa hari sudah mulai berganti malam. Setelah menyampaikan pesan Ocha, Rafaela meninggalkan kakaknya yang dipenuhi oleh pikirannya sendiri. Ernesto tentu tidak diam saja seharian itu, dia merapikan laporan Ocha dan mengerjakan kertas-kertas yang bisa dia kerjakan. Mungkin dia terlalu sibuk dengan pikirannya sambil multi-tasking sampai tersadar oleh suara pintu yang terbuka di belakangnya disusul oleh suara yang sangat dia kenali.
"Tequila?"
"Ah Dokter!" sahut Ernesto langsung membalik tubuhnya untuk menghadap Ocha, "kerja bagus, aku sudah mengerjakan laporan Dokter jadi bagaimana kalau ...."
Ucapan Ernesto terhenti saat melihat kotak biru dengan pita berwarna hitam yang ada di tangan Ocha. Tidak perlu waktu lama bagi Ernesto untuk tahu bahwa isi kotak kecil itu adalah cokelat. Tanpa dia sadari, iris tosca Ernesto terkunci pada kotak tersebut dan ekornya tampak menggeliat senang.
"Tequila?"
"Oh!" Ernesto tersentak kaget lalu tersenyum canggung, "maafkan aku melamun, Dokter. Apa mau kusiapkan kopi? Atau teh?"
"Kopi saja," jawab Ocha, "seharian ini aku sibuk dengan Tamaki jadi aku mengabaikan pekerjaan yang harus kukerjakan hari ini. Ngomong-ngomong, Tequila ...."
"Y-ya?" balas Ernesto tiba-tiba merasa gugup.
"Tamaki memberiku cokelat ini loh!" sahut Ocha penuh semangat—menunjukkan kotak yang menjadi sumber perhatian Ernesto sejak tadi, "operator lain memberiku cokelat juga tapi Tamaki yang memberiku duluan, jadi aku meminta mereka membawanya ke kamarku saja. Lalu seharian ini Tamaki mengajakku berkeliling Rhodes Island ...."
Ocehan Ocha tampak memudar di telinga Ernesto, karena sang laki-laki tampak sedang memproses apa yang pertama kali sang perempuan katakan. Tidak perlu waktu lama bagi Ernesto untuk merasa malu karena dia mengharapkan sesuatu dari Ocha, lebih tepatnya dia berharap bahwa kotak kecil itu ditujukan untuknya.
"Tequila, wajahmu merah loh."
"T-tolong abaikan, Dokter! Aku baik-baik saja kok!"
__________________
MaToru
By: Cuzhae
Mata Makoto memandangi kalender dengan cermat. Lebih tepatnya tanggal 14 yang dicoreti tanda hati dengan spidol. Berhubung sekarang bulan Februari, berarti dua hari lagi adalah hari valentine. Makoto menjadi tidak sabar. Membayangkan Satoru membuatkannya cokelat, sehingga terciptalah seulas senyuman di paras rupawannya.
Tepat ketika hari itu tiba, Makoto pura-pura bersikap seperti biasanya dan tidak menanyakan apa pun mengenai cokelat.
"Kenapa kamu menatapku seperti itu?" tanya Satoru menyadari bahwa suaminya memandangi sedari tadi. Acara membaca bukunya sedikit terganggu.
Makoto tersenyum simpul. "Enggak kenapa-kenapa. Kamu cantik seperti biasanya ...?"
Satoru mengernyit. Beranjak dari duduknya, Satoru menempelkan tangannya di kening Makoto.
"Hmm.. Gak panas. Kamu jadi aneh tau."
"Hehehe.."
Tak bisa dipungkiri bahwa Makoto benar-benar menunggu Satoru untuk memberikannya cokelat. Sehingga tidak bisa menahan keantusiasannya lewat senyuman.
"Kalo gitu aku berangkat ke toko dulu, ya," pamit Makoto seraya mengecup kening sang istri.
"Baiklah. Makan siang mau kuantar ke toko atau mau di rumah saja?" tanya Satoru.
Tangan dieluskan pada pipi wanita itu. "Tolong antarkan ke toko, ya."
Makoto lalu berangkat kerja dan Satoru melambai rendah di ambang pintu depan.
"»————- ♡ ————-««
Entah berkah atau kesialan karena hari ini toko buah milik keluarga Majima dibanjiri pembeli. Sampai waktunya makan siang pun masih ada saja pembeli yang berkunjung, tentulah Makoto tidak bisa mengabaikan pelanggannya.
"Kamu makan saja dulu. Biar aku saja yang layani pembeli," ucap Satoru. Merasa kasihan suaminya itu terlihat kewalahan.
Makoto melepas apron dari badannya dan beranjak mengambil bekal makan yang dibawakan oleh Satoru.
Seraya menyantap makanannya, pikiran Makoto kembali oleng ke topik cokelat. Seharian ini kebanyakan pembeli itu menanyakan buah stroberi. Beberapa di antara mereka mengaku bahwa buah itu sebagai tambahan untuk membuat cokelat olahan untuk valentine ini.
'Apa aku coba tanya Satoru saja, ya? Tapi bagaimana kalau nanti dia tersinggung?' batin Makoto, mengusak rambutnya dengan frustrasi. 'ahh! Tapi aku juga ingin cokelat buatan Satoru!'
"Kamu itu kenapa, sih? Dari pagi kelakuanmu itu aneh," tutur Satoru.
"Kapan kamu mau memberiku cokelat, Satoru?" tanya Makoto pada akhirnya. Jujur saja dia sedikit iri dengan pembeli yang bercerita bahwa akan membuat cokelat untuk orang yang dicintainya. Dan Makoto juga menginginkan hal yang sama dari Satoru.
"Co-cokelat, ya ...? Ada, kok. Mestilah ada, cokelatnya di rumah. Aku lupa membawanya ke sini."
Bohong. Satoru bahkan lupa kalau hari ini adalah hari valentine. Setidaknya sebelum pulang dia harus membeli cokelat dulu. Jangan sampai suaminya ngambek gara-gara istrinya tidak memberikan cokelat.
"Aku jadi tidak sabar untuk pulang!"
"A-ahahaha ..."
Semoga Makoto tidak mengetahui kelupaan Satoru ini.
__________________
LuciRhe
By: queenofjoker_
Rhea Xu terlihat sedang duduk manis di atas sofa, posisi duduknya agak santai. Untuk kali ini dia tidak ikut dengan Lucien ke lab seperti biasa, atau mengerjakan tugas kewajibannya. Dia hanya ingin waktu santai, membaca-baca buku cara membuat coklat. Tidak biasanya juga seorang Rhea membaca buku memasak ketika luangnya.
Sebentar lagi adalah hari Valentine, dan biasanya ada tradisi para perempuan memberikan coklat kepada para lelaki yang dicintainya. Tentu saja Rhea akan memberikannya kepada Lucien karena dia adalah suaminya sendiri. Namun, dia tidak mau membeli coklat dari toko-toko coklat atau memesan online.
"Membuatkan coklat untuknya akan lebih spesial, Lucien pasti lebih menghargainya," gumam Rhea.
Kedua netranya menatap ke arah jam dinding di ruangan mereka. Masih ada waktu cukup sebelum Lucien pulang. Segala persiapan untuk menyambutnya seperti dekorasi kecil-kecilan di ruang makan, makan malam bersama, dan hadiah kecil untuk Lucien- semuanya lengkap. Hanya tinggal coklat buatan tangannya yang dibuat dengan penuh cinta kasih.
Atensinya berpindah ke arah bahan-bahan membuat coklat di atas meja. Dia baru saja pulang membelinya, dan tidak menyangka kalau pergi berbelanja sendiri tanpa bantuan Lucien. Rhea masih ada sisa tenaga lumayan banyak untuk membuat coklatnya, setidaknya itu apa yang dia pikirkan sekarang.
Mungkin yang dia perlu khawatirkan adalah apakah Lucien pulang lebih awal dari universitas atau justru dia pulang larut malam karena tugasnya yang sangat menumpuk. Lucien sempat bercerita kalau ada banyak pekerjaannya menunggunya. Bisa jadi Lucien tidak pernah merayakan valentine karena kesibukannya.
»»————- ♡ ————-««
Rhea memutuskan untuk membuat brownies coklat, setelah mendapati bahan-bahan dasarnya lengkap seperti dugaannya. Dia merasakan membuat brownies lebih mudah untuk dibuat, dan lebih cepat jika seandainya Lucien datang lebih awal. Mendinginkannya juga termasuk cepat, tapi ada satu masalahnya yang menghalanginya.
"Aaargh! Salah masukan takarannya!"
Rhea tidak sengaja memasukan tepung terigu lebih banyak dari yang disarankan. Bahkan tadi dia tidak sengaja menumpahkan coklat bubuk ke dalam mangkuknya sampai isi seluruh botolnya. Ketika memecahkan telur, dia melewati bagian itu dengan mudah, tapi tidak memasukan gula pasir. Awalnya saja sudah kacau balau.
Apakah karena ini efek panik?
"L-Lalu... diaduk, kan? Masukan coklat batangnya nanti, dan pasta kopinya..." gumam Rhea, berusaha untuk tenang di tengah kekacauannya.
Masih ada satu jam lagi sebelum Lucien pulang. Rhea mulai pusing, mencoba untuk tetap mengerjakan tugasnya sampai tuntas. Dia menuang campuran minyak dan cokelat blok, serta pasta kopi, aduk balik pakai spatula hingga benar-benar tercampur rata di dalam mangkuknya. Untungnya dia tidak mengulang kesalahannya setelah panik. Setelah langkah-langkahnya terlewat tuntas, Rhea mengambil sedikit adonan, campur dengan krimer kental manis, dan mengaduknya rata.
Sembari memasak, Rhea beberapa kali mengintip ke arah layar hpnya, tidak jauh dari atas meja masaknya. Masih belum ada kabar dari Lucien kalau dia dalam perjalanan pulang, entah itu menjadi kabar baik atau sedih untuknya. Kabar baik karena Rhea masih ada waktu untuk mempersiapkan browniesnya, kabar buruknya itu bukan kebiasaan Lucien ketika dia di luar.
"Lucien pasti sibuk lagi, ya," Rhea mengernyitkan dahinya, "ya sudahlah, memang kewajiban lebih utama, kan?"
»»————- ♡ ————-««
Pemuda berambut coklat tua itu bersandar di kursi kerjanya, menghela napas lega. Dia mengira bahwa jadwal mengajarnya akan sangat padat hari ini, tetapi karena di universitasnya ada acara kampus yang wajib dihadiri para mahasiswa, Lucien ada waktu untuk pulang lebih awal.
Ketika para mahasiswanya bubar dari ruang kelas, sekilas dia menguping pembicaraan beberapa mahasiswi yang berbincang. Sedikit lancang, tetapi topiknya menarik perhatiannya- tentang Valentine dan budaya tiap tahunnya.
Mengingat pembicaraan itu, Lucien terpikirkan oleh Rhea yang ada di rumah. Tadi pagi sebelum berangkat, Lucien memeriksa kondisi sang istri yang masih lemah karena sakitnya, tetapi harusnya masih bisa beraktivitas karena mengkonsumsi obat-obatan dari dokter, itupun kalau Rhea ingat.
'Apakah Rhea membuat coklat? Tidak, mungkin membeli coklat?' batinnya, sembari bertopang dagu di atas meja dosen.
Ditengah persiapannya untuk pulang, niatnya adalah menghubungi Rhea. Lewat telpon sepertinya tidak mungkin karena dia berpikir sang istri sedang tidur atau tidak membawa hpnya bersama. Lucien memutuskan untuk mengirimkan pesan kalau dia baru selesai mengajar dan perjalanan pulang.
Lucien yang beberapa kali membeli makanan ringan untuk mengganjal perutnya, tetapi kali ini tidak. Dia ingin makan di rumah, bersama dengan Rhea. Mungkin karena hari spesial, makanya Lucien berpikir bahwa Rhea akan memasak untuk mereka berdua.
Perjalanan dari universitas ke rumah termasuk lama, agak memakan waktu apalagi Lucien keluar tepat di jam kantor keluar. Kemungkinan besar bahwa dia tiba ketika jam makan malam. Lucien tidak tega juga membuat Rhea kelaparan sendirian di rumah, bisa jadi nanti perempuan itu malah jatuh sakit karena terlambat mengkonsumsi obatnya.
Tepat ketika Lucien masuk ke dalam rumah, dia tidak mendengarkan suara Rhea atau tanda-tanda kehidupan. Hanya beberapa lampu rumah yang menyala, dan ada aroma manis nyaris memenuhi ruangan. Lucien berjalan beberapa langkah ke dalam rumah, menutup pintu utama di belakangnya, mendapati Rhea yang sedang tertidur di atas sofa.
Di pipi Rhea ada bekas tepung dan coklat cair, bahkan bajunya agak kotor. Sesuai dugaan awalnya, Rhea membuat coklat- lebih tepatnya, kue brownies coklat- kemungkinan untuk pertama kalinya. Lucien tidak menyangka Rhea akan seekstra sekarang, mengingat kondisi tubuh Rhea yang lemah.
Lucien berjalan ke arah dapur, mendapati bolu kukus buatan Rhea di atas meja. Pisau kecil ada di atas loyang, Rhea baru saja menggunakannya untuk memotong browniesnya. Di samping loyang ada sepiring kecil brownies, potongannya tidak terlalu rapi tapi masih hangat, baru saja selesai dibuat. Lucien tidak begitu yakin kapan browniesnya selesai, tetapi dia menduga bahwa Rhea selesai membuat brownies tepat ketika Lucien masih dalam perjalanan pulang.
Pemuda itu tidak mau memakan brownies buatan sang istri lebih awal. Lucien berjalan ke arah Rhea, duduk di sebelahnya. Tangannya mengelus pelan puncak kepalanya, membiarkan sang istri yang masih tertidur lelap kelelahan membuat coklat yang seharusnya tidak dia lakukan. Lucien masih waswas jika tadi Rhea terlalu memaksa tubuhnya hanya untuk mempersiapkan dirinya, kecuali dia telah mengkonsumsi obatnya.
"Rhea, kamu tidak perlu susah payah sekarang, tetapi aku menghargai usahamu. Terima kasih," ucapnya pelan, sebelum mengecup dahi Rhea.
Published 15th of February, 2022
#PAW
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top